Selamat datang di post pertama saya dalam bahasa Indonesia (yang baik dan benar pula, semoga)! Mungkin akan sedikit janggal, tapi berilah saya kesempatan untuk mengutarakan topik yang harus disampaikan dalam bahasa Indonesia ini. Kemarin tanggal 30 Maret 2015, Indonesia merayakan Hari Film Nasional. Di bioskop-bioskop tanah air dirayakan dengan cara memutar film Indonesia dengan iming-iming beli satu gratis satu. Saya langsung meluncur ke mall terdekat di daerah Serpong yang ikut berpartisipasi dalam program tersebut. Pilihan saya jatuh kepada film terlaris tahun 2013, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dibintangi oleh Herjunot Ali, Pevita Pearce dan Reza Rahadian. Saya sudah jatuh cinta pada film ini semenjak trailer-nya dirilis untuk pertama kali. Namun karena saya sedang menetap di Jepang, maka saya tidak pernah menonton film ini hingga tahun 2015. Dipersulit dengan kebijakan rumah produksi Soraya Intercine yang enggan merilis DVD dengan alasan 'takut dibajak'. Alasan yang sangat kekanak-kanakan menurut saya.
Filmnya sendiri dibuat dengan detil. Beda sekali dengan kebanyakan film-film Indonesia. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sangat memperhatikan detil dan nilai produksi. Tidak seperti film-film lain yang mungkin secara alur dan penampilan akting dipujikan, namun detil kurang diperhatikan, contohlah film terlaris 2012, Habibie & Ainun yang terlalu 'diperbudak' sponsor sehingga muncullah Wardah, gerbang tol otomatis dan Gery Chocolatos atau Merry Riana dengan bintang Chelsea Islan yang walau bertempat di tahun 1997 sudah menampilkan struktur megah Marina Bay Sands. Mungkin kurang adil bagi saya untuk terlalu memuji Van Der Wijck karena saya pun jarang sekali menonton film Indonesia. Namun saya ingin berterimakasih kepada film ini karena sudah menimbulkan minat saya pada film Indonesia. Saya sering tergila-gila pada film Hollywood bahkan juga Bollywood. Bayangkan, dari sekian film Bollywood yang diputar di MNCTV setiap Minggu siang, setidaknya seperempat dari katalog unggulannya sudah saya tonton. Tapi alangkah malunya saya bila saya harus mengakui bahwa paling banyak saya menonton film Indonesia setahun sekali.
Semangat produksi yang diperlihatkan Van Der Wijck mirip sekali dengan salah satu film Indonesia favorit saya, Ayat-ayat Cinta. Saya suka sekali dua film ini karena alasan yang sama: kedua film ini meyakinkan saya bahwa keajaiban film bisa juga dilakukan di Indonesia. Ayat-ayat Cinta bisa mengubah sebuah gereja di Jakarta menjadi pengadilan di Mesir dan Van Der Wijck bisa menyajikan kisah roman klasik luar biasa yang kental dengan kebudayaan Indonesia. Saya sekarang sedang terobsesi betul dengan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Hal yang saya amat sayangkan dari film ini adalah, walau budaya tradisionalnya kuat, tapi inspirasi produksi film ini jelas datang dari The Great Gatsby yang dibintangi Leonardo DiCaprio, sehingga terasa kurang orisinil walau kekuatan cerita menjadi tembok pemisah kedua film ini. Dan juga dari banyaknya nominasi untuk FFI dan Piala Maya hanya sedikit yang dapat dimenangi. Itu artinya hanya satu: saya harus menonton film-film Indonesia yang jauh lebih bagus untuk menginspirasi saya lagi. Daftarnya sangat panjang, ada Sokola Rimba, Kapan Kawin?, Belenggu, Sang Penari, dan bahkan saya belum pernah nonton Arisan!
Saya belum membuat resolusi untuk tahun 2015 ini dan saya ingin membuatnya sekarang, disahkan lewat tulisan: saya akan menonton film Indonesia, setidaknya satu film untuk satu bulan. Mari kita lihat hasilnya tahun depan di Hari Film Nasional 2016!
PS.
If you want to understand this in English, please just googletranslate it, it's in perfect Indonesian. *arrogantlaugh
No comments:
Post a Comment